KONSEP JIHAD DALAM ISLAM
Oleh: Bilal Atkinson - Inggris.
Penterjemah: A.Q. Khalid
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:69)
Kata bahasa Arab yaitu Jihad yang dikemukakan dalam ayat Al-Quran ini diterjemahkan sebagai ‘berjuang.’ Kata Jihad itu memang secara relatif pendek sekali tetapi implikasinya luar biasa dalam masyarakat Islam secara keseluruhan dan dalam kehidupan pribadi seorang Muslim. Jihad sebagaimana diperintahkan dalam Islam bukanlah tentang membunuh atau dibunuh tetapi tentang bagaimana berjuang keras memperoleh keridhaan Ilahi. Baik individual mau pun secara kolektif, Jihad merupakan suatu hal yang esensial bagi kemajuan ruhani.
Kata Jihad itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa kita selalu dalam keadaan siap untuk berkelahi atau melakukan perang. Hal itu sama sekali jauh dari kebenaran dan realitas. Arti kata Islam sendiri berarti kedamaian dan semua usaha dan upaya kita sewajarnya diarahkan kepada penciptaan kedamaian serta harmoni di antara sesama kita, dalam komunitas dan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kamus, kata Jihad diartikan sebagai berjuang tetapi juga sebagai ‘perang suci.’ Dalam kamus bahasa Inggris (Oxford Reference Dictionary) malah Jihad diartikan sebagai ‘perang untuk melindungi Islam dari ancaman eksternal atau untuk siar agama di antara kaum kafir.’ Kata suci dan perang sebenarnya tidak sinonim satu sama lain, bahkan saling bertentangan karena tidak ada yang suci pada dampak dan kengerian peperangan. Sangat menyedihkan bahwa kata ‘Jihad’ ini di masa kini sudah demikian disalah-artikan oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya dalam media mereka. Sepintas, kesalah-pahaman demikian bisa dimengerti karena dalam milenium terakhir ini ada beberapa kelompok Muslim ekstrim dimana pimpinan mereka menterjemahkan ‘Jihad’ sebagai Perang Suci. Mereka mengenakan kata Jihad itu pada segala perang yang mereka lakukan, apakah untuk tujuan politis, ekonomi atau pun motivasi ekspansi. Akibat dari kesalahan istilah demikian, agama Islam secara keliru telah dituduh mendapatkan pengikutnya melalui cara pemaksaan dan laku kekerasan.
Kata Jihad itu sendiri dalam Al-Quran digunakan dalam dua pengertian: – Jihad fi Sabilillah – berjuang keras di jalan Allah, – Jihad fi Allah – berjuang keras demi Allah. Arti kata yang pertama menyangkut perang mempertahankan diri dari musuh kebenaran ketika mereka berusaha memusnahkan agama ini, sedangkan pengertian kata yang kedua adalah berusaha atau berjuang keras guna memenangkan keridhoan dan kedekatan kepada Allah s.w.t.. Kata yang kedua itu lebih mengandung signifikasi keruhanian yang lebih tinggi dibanding kata yang pertama.
Berjuang melawan sifat dasar yang buruk dalam diri sendiri yaitu melawan nafsu dan kecenderungan kepada kejahatan.
Berjuang melalui karya tulis, bicara dan membelanjakan harta guna penyiaran kebenaran Islam serta mengungkapkan keindahannya kepada non-Muslim.
Berjuang melawan musuh kebenaran, termasuk di dalamnya perang membela diri.
Rasulullah s.a.w. mengistilahkan kedua Jihad yang pertama sebagai Jihad Akbar sedangkan yang ketiga sebagai Jihad Ashgar (Jihad yang lebih kecil). Suatu ketika saat kembali dari suatu peperangan, beliau menyatakan: ‘Kalian telah kembali dari Jihad yang kecil (berperang melawan musuh Islam) untuk melakukan Jihad yang lebih besar (berperang melawan nafsu rendah). (Khatib)
Penterjemah: A.Q. Khalid
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:69)
Kata bahasa Arab yaitu Jihad yang dikemukakan dalam ayat Al-Quran ini diterjemahkan sebagai ‘berjuang.’ Kata Jihad itu memang secara relatif pendek sekali tetapi implikasinya luar biasa dalam masyarakat Islam secara keseluruhan dan dalam kehidupan pribadi seorang Muslim. Jihad sebagaimana diperintahkan dalam Islam bukanlah tentang membunuh atau dibunuh tetapi tentang bagaimana berjuang keras memperoleh keridhaan Ilahi. Baik individual mau pun secara kolektif, Jihad merupakan suatu hal yang esensial bagi kemajuan ruhani.
Kata Jihad itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa kita selalu dalam keadaan siap untuk berkelahi atau melakukan perang. Hal itu sama sekali jauh dari kebenaran dan realitas. Arti kata Islam sendiri berarti kedamaian dan semua usaha dan upaya kita sewajarnya diarahkan kepada penciptaan kedamaian serta harmoni di antara sesama kita, dalam komunitas dan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kamus, kata Jihad diartikan sebagai berjuang tetapi juga sebagai ‘perang suci.’ Dalam kamus bahasa Inggris (Oxford Reference Dictionary) malah Jihad diartikan sebagai ‘perang untuk melindungi Islam dari ancaman eksternal atau untuk siar agama di antara kaum kafir.’ Kata suci dan perang sebenarnya tidak sinonim satu sama lain, bahkan saling bertentangan karena tidak ada yang suci pada dampak dan kengerian peperangan. Sangat menyedihkan bahwa kata ‘Jihad’ ini di masa kini sudah demikian disalah-artikan oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya dalam media mereka. Sepintas, kesalah-pahaman demikian bisa dimengerti karena dalam milenium terakhir ini ada beberapa kelompok Muslim ekstrim dimana pimpinan mereka menterjemahkan ‘Jihad’ sebagai Perang Suci. Mereka mengenakan kata Jihad itu pada segala perang yang mereka lakukan, apakah untuk tujuan politis, ekonomi atau pun motivasi ekspansi. Akibat dari kesalahan istilah demikian, agama Islam secara keliru telah dituduh mendapatkan pengikutnya melalui cara pemaksaan dan laku kekerasan.
Kata Jihad itu sendiri dalam Al-Quran digunakan dalam dua pengertian: – Jihad fi Sabilillah – berjuang keras di jalan Allah, – Jihad fi Allah – berjuang keras demi Allah. Arti kata yang pertama menyangkut perang mempertahankan diri dari musuh kebenaran ketika mereka berusaha memusnahkan agama ini, sedangkan pengertian kata yang kedua adalah berusaha atau berjuang keras guna memenangkan keridhoan dan kedekatan kepada Allah s.w.t.. Kata yang kedua itu lebih mengandung signifikasi keruhanian yang lebih tinggi dibanding kata yang pertama.
Berjuang melawan sifat dasar yang buruk dalam diri sendiri yaitu melawan nafsu dan kecenderungan kepada kejahatan.
Berjuang melalui karya tulis, bicara dan membelanjakan harta guna penyiaran kebenaran Islam serta mengungkapkan keindahannya kepada non-Muslim.
Berjuang melawan musuh kebenaran, termasuk di dalamnya perang membela diri.
Rasulullah s.a.w. mengistilahkan kedua Jihad yang pertama sebagai Jihad Akbar sedangkan yang ketiga sebagai Jihad Ashgar (Jihad yang lebih kecil). Suatu ketika saat kembali dari suatu peperangan, beliau menyatakan: ‘Kalian telah kembali dari Jihad yang kecil (berperang melawan musuh Islam) untuk melakukan Jihad yang lebih besar (berperang melawan nafsu rendah). (Khatib)
Jihad Ashgar
Kami akan menjelaskan terlebih dahulu Jihad yang kecil yaitu Jihad Ashgar sebelum mengulas Jihad Akbar. Usia Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah empat puluh tahun saat datang panggilan Ilahi. Wahyu dan perintah pertama yang diterima beliau sebagai bagian dari Al-Quran adalah:
‘Bacalah dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dia Tuhan engkau adalah Maha Mulia; yang mengajar dengan pena; mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.’ (S.96 Al-Alaq:1-5)
Perintah pertama Allah s.w.t. ini jelas sekali menyuruh beliau untuk menyebarkan ajaran Islam, baik secara lisan mau pun tulisan dan bukan dengan kekerasan, bukan dengan pedang atau pun tindakan agresif apa pun. Kata yang pertama saja sudah menyatakan untuk menyampaikan pesan, memaklumatkan ke seluruh dunia akan wahyu dan ajaran Allah s.w.t. melalui keluhuran Al-Quran.
Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. diperintahkan untuk menyatakan secara terbuka dan merata segala apa yang diwahyukan kepada beliau. Upaya beliau menyampaikan pesan Ilahi ini kepada masyarakat sekeliling beliau di Mekah ternyata hanya membuahkan cemooh dan memancing kekerasan. Pada awalnya hanya ada empat orang yang beriman kepadanya dan ketika hal ini didengar penduduk Mekah, mereka lantas saja menertawakan dan mencemooh. Dengan bertambah banyaknya ayat Al-Quran yang diwahyukan, tambah banyak pula orang-orang yang tertarik dan mengikuti pesan baru itu, terutama para pemuda, yang lemah dan yang tertindas dalam masyarakat Mekah. Apalagi wanita, dimana mereka tertarik kepada agama baru ini karena agama tersebut memberikan harga diri dan kehormatan kepada mereka di tengah bapak, suami dan putra-putra mereka, suatu hal yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya mengingat mereka terkadang diperlakukan lebih buruk dari hewan.
Keberhasilan Rasulullah s.a.w. ini berimbas buruk terhadap diri beliau dan para pengikut awal. Penduduk Mekah melancarkan laku aniaya yang tambah lama tambah kejam dan buas dengan berjalannya waktu. Mereka menjadi ketakutan bahwa agama baru itu akan mengakar kuat dan agama serta budaya mereka sendiri menjadi hancur karenanya. Karena rasa takut itulah maka penduduk Mekah yang kafir itu lalu menghunus pedang dan berpesta menjagal para hamba Allah yang setia dan benar. Jalan-jalan di kota Mekah menjadi merah oleh darah umat Muslim, namun mereka ini tetap saja tidak membalas. Kerendahan hati dan sikap istiqomah mereka malah mendorong para penganiaya tersebut untuk bertindak lebih kejam lagi dimana mereka memperlakukan umat Muslim dengan cara aniaya dan pelecutan yang ekstrim. Banyak orang tua yang harus menyaksikan anaknya dibantai di depan mata mereka sendiri dan beberapa orang tua disalib di depan mata anak-anaknya.
Apa yang menjadikan orang-orang itu beriman kepada Rasulullah s.a.w., seorang laki-laki yang pada waktu itu tidak memiliki kekuasaan atau pun kekayaan, beliau jelas tidak ada menghunus pedang guna memaksa pengikutnya untuk beriman kepadanya dan pesan yang dibawanya. Satu-satunya ‘pedang’ yang digunakan Rasulullah s.a.w. hanyalah Al-Quran, sebuah pedang ruhani, pedang kebenaran, yang secara alamiah telah menarik hati mereka yang tidak percaya, tanpa suatu agresi dalam bentuk apa pun. Demikian itulah keindahan, keagungan dan daya tarik Islam serta diri Muhammad yang menyiratkan kebaikan dan kasih sehingga mereka ini bersedia menyerahkan nyawa untuk itu. Adalah orang-orang non-Muslim, terutama penduduk Mekah, yang telah mengangkat pedang fisik mereka untuk menyerang umat Muslim guna memaksa mereka kembali kepada ajaran dan agama lama mereka.
Setelah Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah, kekejaman bangsa kafir Quraish malah tambah melampaui batas. Mereka lantas membunuhi para pengikut lemah yang masih tertinggal di Mekah, termasuk wanita dan anak-anak yatim. Meski Rasulullah s.a.w. beserta banyak dari para sahabat telah hijrah ke Medinah, tetap saja mereka tidak dibiarkan hidup damai. Tetap saja mereka ini diganggu terus di tempat yang baru itu. Pada saat itu agama Islam yang baru muncul itu ditingkar musuh di segala penjuru dan terancam kepunahan. Berkenaan dengan keadaan seperti itulah maka perintah pertama tentang Jihad kecil lalu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w.:
‘Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.’ (S.22 Al-Hajj:39)
Para ulama sependapat bahwa ini adalah ayat pertama yang memberi izin kepada umat Muslim untuk mengangkat senjata guna melindungi diri mereka. Ayat ini meletakkan dasar-dasar yang menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam melakukan perang defensif. Jelas dikemukakan disitu alasan yang telah mendorong segelintir umat Muslim tidak bersenjata dan sarana lainnya untuk berperang mempertahankan diri setelah menderita dengan sabar sekian lamanya. Mereka menderita aniaya terus menerus selama bertahun-tahun di Mekah dan masih terus diburu kebencian meski telah hijrah ke Medinah. Alasan utama umat Muslim mengangkat senjata adalah karena mereka telah diperlakukan dengan aniaya. Mereka telah menderita tak terbilang lagi aniaya musuh dan perang telah dipaksakan terhadap mereka.
Ayat Al-Quran berikutnya menegaskan inferensi tersebut dimana dinyatakan bahwa izin untuk berperang diberikan karena umat Muslim telah diusir dari rumah mereka:
‘Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa.’ (S.22 Al-Hajj:40)
Secara spesifik Al-Quran menegaskan bahwa bentuk Jihad ini adalah berperang melawan mereka yang telah menyerang Islam terlebih dahulu, dimana ayat-ayat Al-Quran lainnya juga menguatkan hal ini. Umat Muslim hanya boleh mengangkat senjata untuk membela diri terhadap mereka yang telah terlebih dahulu menyerang dan hanya jika umat Muslim memang tertindas dan teraniaya. Hal inilah yang menjadi sukma dan esensi daripada Jihad Islamiah yang sekarang ini banyak disalah-artikan. Jelas tidak benar sama sekali jika dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w. hanya memberikan pilihan kepada umat untuk bai’at atau mati, Islam atau pedang.
Jihad dengan pedang yang terpaksa dilakukan Rasulullah s.a.w. serta umat Muslim awal karena tekanan keadaan yang khusus, adalah suatu phasa yang bersifat selintas dalam penegakan fondasi Islam. Mereka yang berusaha menghancurkan Islam dengan pedang, akhirnya punah karena pedang juga. Kecuali ada suatu bangsa atau negara yang memaklumkan perang terhadap umat Muslim dengan tujuan memupus Islam dari muka bumi, tidak ada perang atau pertempuran yang dilakukan umat Muslim yang bisa disebut sebagai Jihad. Tujuan dari umat Muslim dalam mengangkat senjata tidak pernah untuk mengkaliskan siapa pun dari rumah atau harta benda atau pun kemerdekaan mereka. Jihad perang hanya dibenarkan untuk membela diri guna menyelamatkan Islam dari suatu kehancuran, menegakkan kemerdekaan berpendapat disamping juga untuk membantu mempertahankan tempat-tempat ibadah umat agama lain dari kerusakan atau penghinaan. Singkat kata, tujuan utama dari perang yang dilakukan umat Muslim adalah guna menegakkan kebebasan beragama dan beribadah, membela kehormatan diri dan kemerdekaan terhadap serangan tidak beralasan, dan itu pun kalau ada alasan bahwa hal tersebut akan terjadi lagi.
Umat Muslim di masa awal tidak memiliki pilihan lain kecuali berperang karena mereka terpaksa harus melakukannya. Perang yang bersifat agresif sejak dulu mau pun kini tetap dilarang oleh Islam. Kekuatan politis negeri-negeri Muslim tidak boleh digunakan untuk ambisi atau pengagulan pribadi, tetapi hanya untuk perbaikan kondisi rakyat yang miskin serta demi pengembangan perdamaian dan kemajuan. Contoh akbar mengenai hal ini ada pada saat Rasulullah s.a.w. beserta para pengikut beliau kembali ke Mekah dengan kemenangan. Beliau berbicara kepada penduduk Mekah, menyampaikan:
‘Kalian telah melihat betapa sempurnanya janji Allah. Sekarang beritahukan kepadaku hukuman apa yang pantas dikenakan kepada kalian atas segala kekejaman dan kebengisan kalian terhadap mereka yang kesalahannya hanyalah karena mereka telah mengajak kalian untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa? Mendengar itu penduduk Mekah menjawab: “Kami ingin engkau memperlakukan kami seperti Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya yang bersalah.” Mendengar permohonan tersebut, Rasulullah s.a.w. langsung menjawab “Demi Allah, kalian tidak akan dihukum sekarang ini dan tidak juga dimurkai.” (Hisham)
Al-Quran menyatakan:
‘Dan, perangilah mereka itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya bagi Allah. Tetapi, jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.’ (S.8 Al-Anfal:39)
Ayat di atas menjelaskan kalau perang hanya boleh dilanjutkan sepanjang masih ada laku aniaya dan manusia belum bebas menganut agama yang mereka sukai. Jika musuh-musuh Islam menghentikan perang maka umat Muslim juga harus berhenti pula.
Bangsa yang paling pantas mendapat hukuman sesungguhnya penduduk Mekah itulah. Kalau Islam memang disiarkan melalui tekanan senjata, maka kejadian kemenangan umat Rasulullah s.a.w. atas Mekah merupakan saat paling tepat guna mengayunkan pedang untuk pembalasan dan penaklukan agar orang-orang masuk ke dalam Islam. Tetapi nyatanya tidak demikian, penduduk Mekah tunduk bukan karena pedang tetapi karena kasih sayang. Kasih kepada diri Rasulullah s.a.w. dan kecintaan pada ajaran Al-Quran yang mencerahkan kalbu.
Al-Quran menyatakan:
‘Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan. . .’ (S.2 Al-Baqarah:256)
Ayat di atas mengingatkan umat Muslim secara jelas dan gamblang untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menarik non-Muslim ke dalam agama Islam. Dijelaskan juga alasannya mengapa kekerasan itu tidak perlu digunakan yaitu karena jalan yang benar telah nyata bedanya dari jalan kesesatan sehingga tidak ada pembenaran untuk menggunakan kekerasan. Rasulullah s.a.w. secara tegas diingatkan Allah s.w.t. agar tidak menggunakan kekerasan dalam upaya memperbaiki masyarakat. Status beliau ditegaskan dalam ayat Al-Quran:
‘Maka nasihatilah, sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi nasihat. Engkau bukan penjaga atas mereka.’ (S.88 Al-Ghasyiyah:21-22)
Ajaibnya ayat di atas itu diwahyukan di Mekah di masa awal himbauan Rasulullah s.a.w. dimana beliau telah diisyaratkan akan memperoleh kekuasaan besar tetapi jangan menggunakannya untuk memaksakan kehendak diri beliau atas orang lain. Pada intinya Rasulullah s.a.w. tidak pernah menarik orang ke dalam agama Islam dengan kekuatan pedang tetapi melalui laku takwa, kasih dan pengabdian beliau kepada Allah s.w.t. yang telah menaklukkan hati para musuh sedemikian rupa sehingga mereka yang tadinya berniat membunuhnya malah kemudian tunduk di kaki beliau dan mempertahankan beliau dari serangan para musuh.
Pada saat haji perpisahan, Rasulullah s.a.w. dalam penutupan Khutbah Perpisahan beliau menyatakan:
‘Seperti halnya bulan ini suci, tanah ini tanah suci dan hari ini hari suci, demikian pula halnya Tuhan telah menjadikan jiwa, harta benda dan kehormatan tiap-tiap orang juga suci. Merampas jiwa seseorang atau harta bendanya atau menyerang kehormatannya adalah tidak adil dan salah, sama halnya seperti menodai kesucian hari ini, bulan ini dan daerah ini. Apa yang kuperintahkan pada hari ini dan di daerah ini berarti bukan hanya untuk hari ini. Perintah-perintah ini adalah untuk sepanjang masa. Kalian diharapkan mengingat dan bertindak sesuai dengannya sampai kalian meninggalkan alam dunia ini dan berangkat ke alam nanti untuk menghadap Khalik-mu.’
Sebagai penutup beliau bersabda:
‘Apa-apa yang telah kukatakan kepada kalian, sampaikanlah ke pelosok-pelosok dunia. Mudah-mudahan mereka yang tidak mendengarku sekarang akan mendapatkan faedah lebih daripada mereka yang telah mendengarnya.’ (Sihah Sitta, Tabari, Hisyam dan Khamis)
Kepedulian Rasulullah s.a.w. yang sangat atas kesejahteraan umat manusia dan penciptaan kedamaian di seluruh dunia sungguh tidak ada batasnya. Adalah suatu tragedi bahwa dalam masa sekitar seribu tahun terakhir ini para pemuka dan negeri Muslim, sebagian besar telah mengabaikan hakikat ajaran Al-Quran dan Rasulullah s.a.w. semata-mata hanya untuk pemuasan keserakahan dan nafsu kekuasaan atau mencari kekayaan. Mereka berperang satu sama lain untuk memperebutkan kekayaan duniawi dan melalui laku lajak mereka telah menganiaya orang-orang yang tidak berdosa. Secara culas mereka telah mengkhianati bangsanya sendiri dan sesama negeri Muslim hanya untuk mendapatkan kekayaan moneter dan kekuasaan dari musuh-musuh Islam. Sebagian besar dari pemuka ruhani dan duniawi telah menyesatkan bangsanya sendiri dan membawa kebusukan dalam tubuh, fikiran dan jiwa masyarakat. Pada masa kini, beberapa anak muda Muslim secara konyol telah ‘dicuci otaknya’ sehingga menganggap laku barbar, teror, bunuh diri dan pembunuhan yang mereka lakukan akan menjadikan mereka mendapat derajat syuhada. Sesungguhnya mereka ini telah membawa kebusukan ke ambang pintu agama yang katanya mereka cintai. Nama Islam sekarang tidak lagi bernuansa kedamaian melainkan disinonimkan dengan laku teror.
Sebagian besar negara-negara di dunia pernah melancarkan perang politis tetapi kelihatannya hanya negeri-negeri Muslim yang melaksanakan perang Jihad dimana mereka telah membantai satu sama lainnya. Berkaitan dengan itu perlu kiranya disinggung juga kejadian di New York (peristiwa 11 September) dan apa yang terjadi di Afghanistan dan Timur Tengah dimana ‘Jihad Islam’ telah dilancarkan membabi-buta oleh organisasi-organisasi Muslim ekstrim terhadap bangsa-bangsa non-Muslim.
Rasulullah s.a.w. ada mengingatkan bahwa umat Muslim di akhir zaman, terutama para pemuka mereka, akan jauh sekali dari hakikat Islam dan bahkan sebagian dari mereka akan menjadi seburuk-buruknya mahluk. Para pemuka ini akan menyesatkan para muda-mudi Muslim yang sebenarnya memiliki intelegensi cukup. Para pemuka ini mendidik dan mengindoktrinasi mereka bahwa jika mereka menyerahkan nyawa dalam apa yang mereka katakan sebagai jalan Islam, maka mereka ini akan langsung masuk surga sebagai suhada. Betapa bohongnya mereka itu dan betapa menipunya. Mestinya umat Islam bertanya kepada para pemuka itu “Atas kewenangan siapa kalian ini membuat pernyataan seperti itu?” Wahai muda-mudi Muslim yang diperintahkan melakukan tindakan mengerikan demikian, kalau seperti kata mereka itu bahwa kalian akan jadi suhada dan masuk surga, katakanlah kepada mereka silakan tunjukkan teladannya dengan melakukannya sendiri. Tanyakan kepada mereka itu ‘Mengapakah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?’ (S.61 Ash-Shaf: 2)
Laku demikian sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu amal saleh, bahkan lebih merupakan pencemaran nama Islam serta pendurhakaan terhadap firman Tuhan. Al-Quran jelas menyatakan:
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta bendamu antara sesamamu dengan jalan batil, kecuali yang kamu dapatkan dengan perniagaan berdasar kerelaan di antara sesamamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.’ (S.4 An-Nisa: 29)
Kata-kata ‘janganlah kamu membunuh dirimu’ melarang keras tindakan bunuh diri. Disamping itu apakah mungkin laku pembunuhan orang-orang tidak berdosa dianggap sebagai amal saleh yang akan memberikan izin seorang Muslim masuk pintu surga? Yang pasti adalah membuka jalan ke pintu neraka! Abu Zaid bin Thabit bin Dhahak meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
‘Barangsiapa yang bersumpah palsu dan tidak mengatakan keadaan yang sebenarnya, sesungguhnya ia bukan dari pengikut Islam sebagaimana ia menganggap dirinya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebuah alat maka ia akan disiksa dengan alat itu pada Hari Penghisaban. Seseorang tidak boleh bersumpah tentang sesuatu yang bukan haknya. Mengutuk seorang mukminin sama saja dengan membunuhnya.’ (Bukhari, Kitab Adab, bab Memanggil dengan nama buruk dan mengutuk)
Dengan demikian para pria dan wanita yang menyebut dirinya Muslim yang berencana membunuh dirinya atau mengajak orang lain untuk bunuh diri dengan menggunakan bom sehingga menyebabkan matinya orang-orang yang tidak berdosa, perhatikanlah ayat Al-Quran dan Hadith dari Penghulu kalian. Bukan derajat suhada yang akan kalian peroleh tetapi neraka jahanam.
Terorisme di abad modern ini sama sekali bertentangan dengan visi dan penafsiran tentang hakikat Jihad Islamiah. Perang politis tidak bisa disebut sebagai Jihad. Teriakan Jihad terdengar berulang-ulang dan dari berbagai penjuru. Namun apa sebenarnya makna Jihad yang dimaksud Allah s.w.t. dan Rasul-Nya? Apa yang menjadi Jihad di masa kini yang patut kita ikuti? Al-Quran mengemukakan Jihad lain yang disebut sebagai Jihad Akbar sebagai:
‘Janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran ini dengan jihad yang besar.’ (S.25 Al-Furqan:52)
Jihad akbar dan hakiki menurut ayat ini adalah melaksanakan dan mengajarkan isi Al-Quran.Sekarang ini bukan lagi masanya menghunus pedang tetapi saatnya menggunakan hujjah. Apa yang dimaksud dengan hal ini dan bagaimana caranya kita harus masuk dalam medan laga agar manusia menyadari keindahan Islam dan ajarannya? Salah satu jawabannya adalah dengan memahami makna dari Jihad Fiallah atau Jihad Akbar yaitu Jihad terhadap nafsu dan kecenderungan buruk dalam diri kita, khususnya perjuangan kita melawan Syaitan. Inilah yang dimaksud dengan Jihad hakiki, Jihad individual guna memperbaiki diri menjadi saleh dan hamba Allah serta merobah Syaitan-syaitan dalam diri kita menjadi Muslim yang muttaqi agar kita bisa menarik orang lain ke dalam agama Islam. Al-Quran menyatakan:
‘Barangsiapa berjuang maka ia berjuang untuk dirinya pribadi, sesungguhnya Allah Maha Kaya, bebas dari sekalian mahluk-Nya.’ (S.29 Al-Ankabut:6)
Ayat ini menggambarkan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan seorang Mujahid, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah. Wawasan agung dan luhur yang dilaksanakan secara konsisten dan konstan dalam praktek aktual itulah yang dimaksud sebagai Jihad dalam terminologi Islam, sedangkan orang yang melaksanakan dan mengamalkannya disebut sebagai Muhajid. Kita ini harus menjadi teladan yang sempurna dari ajaran Islam dan untuk itu kita harus memahami ajaran Al-Quran serta sunah Rasul. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa sebaik-baik pernyataan dari keimanan yang hakiki adalah orang lain selalu terpelihara dan hidup damai karena perlindungan kita. Islam disebut agama yang terbaik ialah jika semua orang aman dari kita dan kita tidak pernah mencederai mereka baik dengan tangan atau pun lidah (Bukhari, Kitabul Iman).
Hadith itu merupakan kesimpulan dan teladan sempurna untuk kehidupan kita di dalam masyarakat. Wajib bagi setiap Muslim bahwa perilakunya harus menjadi teladan dan tidak ada siapa pun yang akan dirugikan dengan cara apa pun. Hal ini menjadi bagian dari keimanan dan senyatanya menjadi dasar dalam hubungan kita dengan Allah s.w.t.. Sebagai seorang mukminin sejati, kita tahu bahwa tujuan utama dalam kehidupan ini adalah mendekati Allah s.w.t.. Hidup ini singkat sekali dan sebelum kita sadari, separuh usia sudah lewat dengan cepatnya. Kita mengetahui dari Al-Quran bahwa hubungan seperti itu bisa diciptakan, namun juga dinyatakan bahwa kita harus berjuang mencarinya. Jika kita perhatikan kehidupan duniawi, kita bisa melihat upaya perjuangan seperti apa yang harus dilakukan guna mencapai keberhasilan. Cara yang sama dengan berjuang di jalan Allah akan menuntun kita pada pertemuan dengan Wujud-Nya.
Semestinya kita menilik ke dalam batin sendiri dan melihat berapa banyaknya waktu dan upaya yang dikeluarkan bagi keruhanian setiap harinya. Apakah ada kita berupaya setengah atau bahkan seperempat dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk dunia? Apakah hati kita sesungguhnya mendambakan kasih Allah sebagaimana halnya mendambakan kemewahan dunia? Apakah ada kita menghabiskan waktu yang banyak untuk berdoa, membaca Al-Quran, membelanjakan harta dan waktu di jalan Allah? Apakah hati kita ada menangis melihat penderitaan saudara-saudara kita dan apakah ada kita berupaya datang kepada mereka dengan tulus hati menyampaikan pesan Ilahi? Adakah kita mematuhi sepenuhnya ketentuan dan peraturan dalam Kitabullah, karena sesungguhnya tidak ada petunjuk yang lebih baik daripadanya. Semua ketentuan dan peraturan tersebut adalah bagi kemaslahatan kita sendiri. Siapa yang mengetahui jalan Allah yang terbaik kecuali Allah sendiri? Kita semestinya mematuhi kaidah Ilahi guna memastikan bahwa kita terpelihara dari pengaruh jahat internal mau pun eksternal diri kita serta mencerahkan perjalanan ruhani. Semua itu memerlukan perubahan dalam kebiasaan dan gaya hidup yang selama ini dianut. Fikiran dan pandangan perlu diubah dan dimodifikasi. Upaya demikian adalah berat dan melelahkan tetapi semua perjuangan memang berat dan menyakitkan adanya.
Orang-orang yang hidup berdasarkan pedoman Tuhan dan selalu berjuang di jalan-Nya maka mereka menjadi teladan hidup dari hamba-hamba Allah. Mereka kelihatan menonjol dibanding lingkungannya. Ada perubahan sempurna dalam internal dan eksternal pribadi mereka sehingga orang-orang lain akan terpana dan menghormati mereka karena adanya nur Ilahi yang bersinar dari wajah mereka. Mereka itu senyatanya menjadi bukti hidup dari ayat Al-Quran bahwa:
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:70)
Kata Jihad itu mencakup keseluruhan aktivitas positif yang harus dilakukan seorang Muslim dan kita semua harus berlaku sebagai Mujahid yang secara istiqomah memperbaiki diri. Berjuang demi Allah membutuhkan tekad bulat dan keteguhan hati, dimana hal ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa keimanan, pemahaman dan keyakinan yang hakiki kepada Wujud Maha Agung yang Maha Kuasa serta kepastian adanya kehidupan setelah kematian. Jika seorang Muslim meyakini bahwa keimanannya itu benar adanya, agama yang dianutnya itu juga benar maka ia tidak perlu takut kepada orang-orang yang berusaha menariknya keluar dari keimanan demikian. Sebaliknya, ia harus menerima mereka di rumahnya dengan senang hati dan melalui amal dan kata yang saleh, insya Allah, bisa menarik mereka ke dalam agamanya.
Sebelum masuk menjadi Muslim Ahmadiyah sekitar 14 tahun yang lalu, saya selalu berusaha selama hampir dua tahun untuk menarik seorang teman Ahmadi ke dalam agama Kristen. Teman ini sama sekali tidak mengambil sikap permusuhan, malah ia banyak mengajarkan kepada saya kebenaran agamanya dalam kata dan amal perbuatan, sehingga akhirnya tidak saja saya malah jatuh cinta kepada agama Islam, bahkan aku mencintai teman ini sebagaimana seseorang mencintai saudara kandungnya sendiri. Ia selalu menempatkan agama dan kewajiban agama di muka segalanya, bahkan kepentingan keluarganya sendiri. Melalui kata-kata dan amalnya yang saleh serta mengikuti teladan Rasulullah s.a.w. ia ini tidak saja berhasil menyeru saya tetapi juga banyak orang Inggris lainnya ke dalam Islam yang hakiki. Ia melaksanakan Jihad hakiki, tidak dengan kekerasan tetapi dengan ajakan yang lembut. Ia banyak mengalami rintangan namun kesabaran dan sifat istiqomahnya, terlebih lagi kecintaannya kepada sang Khalik, telah menjadikan dirinya sebagai penyeru kepada Allah yang paling berhasil. Pedih hati ini menyaksikan laku ketidakadilan yang ditimpakan bangsa-bangsa Barat terhadap umat dan negeri-negeri Muslim. Tetapi lebih menyedihkan lagi menyaksikan tindakan orang-orang yang menyebut dirinya Muslim yang mencanangkan Jihad terhadap siapa pun yang tidak sependapat dengan penafsiran mereka tentang ajaran Islam dimana mereka melakukan tindak kekejaman yang memalukan atas nama Islam. Bagaimana bisa mereka menarik minat orang lain kepada agama Islam?
Betapa menyedihkan dan memalukan bahwa seorang yang asing sama sekali dan tidak pernah merugikan kita dan sedang menjalankan perintah kedinasannya, lalu ditembak mati tanpa alasan sehingga isterinya menjadi janda, anak-anaknya menjadi yatim serta tempat tinggalnya menjadi rumah berkabung. Hadith mana dan ayat Al-Quran mana yang memerintahkan tindak laku yang keji seperti itu? Apakah ada seorang saja ulama yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini? Umat awam yang tidak berpengetahuan, begitu mendengar kata Jihad lalu menjadikannya sebagai pembenaran untuk memenuhi nafsu pribadi mereka sendiri.
* Bilal Atkinson adalah seorang Inggris pensiunan polisi dan sekarang menjadi Amir Muballigh Wilayah Ahmadiyah dari bagian Timur Laut Inggris.
Sumber: www.reviewofreligions.org
Kami akan menjelaskan terlebih dahulu Jihad yang kecil yaitu Jihad Ashgar sebelum mengulas Jihad Akbar. Usia Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah empat puluh tahun saat datang panggilan Ilahi. Wahyu dan perintah pertama yang diterima beliau sebagai bagian dari Al-Quran adalah:
‘Bacalah dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dia Tuhan engkau adalah Maha Mulia; yang mengajar dengan pena; mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.’ (S.96 Al-Alaq:1-5)
Perintah pertama Allah s.w.t. ini jelas sekali menyuruh beliau untuk menyebarkan ajaran Islam, baik secara lisan mau pun tulisan dan bukan dengan kekerasan, bukan dengan pedang atau pun tindakan agresif apa pun. Kata yang pertama saja sudah menyatakan untuk menyampaikan pesan, memaklumatkan ke seluruh dunia akan wahyu dan ajaran Allah s.w.t. melalui keluhuran Al-Quran.
Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. diperintahkan untuk menyatakan secara terbuka dan merata segala apa yang diwahyukan kepada beliau. Upaya beliau menyampaikan pesan Ilahi ini kepada masyarakat sekeliling beliau di Mekah ternyata hanya membuahkan cemooh dan memancing kekerasan. Pada awalnya hanya ada empat orang yang beriman kepadanya dan ketika hal ini didengar penduduk Mekah, mereka lantas saja menertawakan dan mencemooh. Dengan bertambah banyaknya ayat Al-Quran yang diwahyukan, tambah banyak pula orang-orang yang tertarik dan mengikuti pesan baru itu, terutama para pemuda, yang lemah dan yang tertindas dalam masyarakat Mekah. Apalagi wanita, dimana mereka tertarik kepada agama baru ini karena agama tersebut memberikan harga diri dan kehormatan kepada mereka di tengah bapak, suami dan putra-putra mereka, suatu hal yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya mengingat mereka terkadang diperlakukan lebih buruk dari hewan.
Keberhasilan Rasulullah s.a.w. ini berimbas buruk terhadap diri beliau dan para pengikut awal. Penduduk Mekah melancarkan laku aniaya yang tambah lama tambah kejam dan buas dengan berjalannya waktu. Mereka menjadi ketakutan bahwa agama baru itu akan mengakar kuat dan agama serta budaya mereka sendiri menjadi hancur karenanya. Karena rasa takut itulah maka penduduk Mekah yang kafir itu lalu menghunus pedang dan berpesta menjagal para hamba Allah yang setia dan benar. Jalan-jalan di kota Mekah menjadi merah oleh darah umat Muslim, namun mereka ini tetap saja tidak membalas. Kerendahan hati dan sikap istiqomah mereka malah mendorong para penganiaya tersebut untuk bertindak lebih kejam lagi dimana mereka memperlakukan umat Muslim dengan cara aniaya dan pelecutan yang ekstrim. Banyak orang tua yang harus menyaksikan anaknya dibantai di depan mata mereka sendiri dan beberapa orang tua disalib di depan mata anak-anaknya.
Apa yang menjadikan orang-orang itu beriman kepada Rasulullah s.a.w., seorang laki-laki yang pada waktu itu tidak memiliki kekuasaan atau pun kekayaan, beliau jelas tidak ada menghunus pedang guna memaksa pengikutnya untuk beriman kepadanya dan pesan yang dibawanya. Satu-satunya ‘pedang’ yang digunakan Rasulullah s.a.w. hanyalah Al-Quran, sebuah pedang ruhani, pedang kebenaran, yang secara alamiah telah menarik hati mereka yang tidak percaya, tanpa suatu agresi dalam bentuk apa pun. Demikian itulah keindahan, keagungan dan daya tarik Islam serta diri Muhammad yang menyiratkan kebaikan dan kasih sehingga mereka ini bersedia menyerahkan nyawa untuk itu. Adalah orang-orang non-Muslim, terutama penduduk Mekah, yang telah mengangkat pedang fisik mereka untuk menyerang umat Muslim guna memaksa mereka kembali kepada ajaran dan agama lama mereka.
Setelah Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah, kekejaman bangsa kafir Quraish malah tambah melampaui batas. Mereka lantas membunuhi para pengikut lemah yang masih tertinggal di Mekah, termasuk wanita dan anak-anak yatim. Meski Rasulullah s.a.w. beserta banyak dari para sahabat telah hijrah ke Medinah, tetap saja mereka tidak dibiarkan hidup damai. Tetap saja mereka ini diganggu terus di tempat yang baru itu. Pada saat itu agama Islam yang baru muncul itu ditingkar musuh di segala penjuru dan terancam kepunahan. Berkenaan dengan keadaan seperti itulah maka perintah pertama tentang Jihad kecil lalu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w.:
‘Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.’ (S.22 Al-Hajj:39)
Para ulama sependapat bahwa ini adalah ayat pertama yang memberi izin kepada umat Muslim untuk mengangkat senjata guna melindungi diri mereka. Ayat ini meletakkan dasar-dasar yang menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam melakukan perang defensif. Jelas dikemukakan disitu alasan yang telah mendorong segelintir umat Muslim tidak bersenjata dan sarana lainnya untuk berperang mempertahankan diri setelah menderita dengan sabar sekian lamanya. Mereka menderita aniaya terus menerus selama bertahun-tahun di Mekah dan masih terus diburu kebencian meski telah hijrah ke Medinah. Alasan utama umat Muslim mengangkat senjata adalah karena mereka telah diperlakukan dengan aniaya. Mereka telah menderita tak terbilang lagi aniaya musuh dan perang telah dipaksakan terhadap mereka.
Ayat Al-Quran berikutnya menegaskan inferensi tersebut dimana dinyatakan bahwa izin untuk berperang diberikan karena umat Muslim telah diusir dari rumah mereka:
‘Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa.’ (S.22 Al-Hajj:40)
Secara spesifik Al-Quran menegaskan bahwa bentuk Jihad ini adalah berperang melawan mereka yang telah menyerang Islam terlebih dahulu, dimana ayat-ayat Al-Quran lainnya juga menguatkan hal ini. Umat Muslim hanya boleh mengangkat senjata untuk membela diri terhadap mereka yang telah terlebih dahulu menyerang dan hanya jika umat Muslim memang tertindas dan teraniaya. Hal inilah yang menjadi sukma dan esensi daripada Jihad Islamiah yang sekarang ini banyak disalah-artikan. Jelas tidak benar sama sekali jika dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w. hanya memberikan pilihan kepada umat untuk bai’at atau mati, Islam atau pedang.
Jihad dengan pedang yang terpaksa dilakukan Rasulullah s.a.w. serta umat Muslim awal karena tekanan keadaan yang khusus, adalah suatu phasa yang bersifat selintas dalam penegakan fondasi Islam. Mereka yang berusaha menghancurkan Islam dengan pedang, akhirnya punah karena pedang juga. Kecuali ada suatu bangsa atau negara yang memaklumkan perang terhadap umat Muslim dengan tujuan memupus Islam dari muka bumi, tidak ada perang atau pertempuran yang dilakukan umat Muslim yang bisa disebut sebagai Jihad. Tujuan dari umat Muslim dalam mengangkat senjata tidak pernah untuk mengkaliskan siapa pun dari rumah atau harta benda atau pun kemerdekaan mereka. Jihad perang hanya dibenarkan untuk membela diri guna menyelamatkan Islam dari suatu kehancuran, menegakkan kemerdekaan berpendapat disamping juga untuk membantu mempertahankan tempat-tempat ibadah umat agama lain dari kerusakan atau penghinaan. Singkat kata, tujuan utama dari perang yang dilakukan umat Muslim adalah guna menegakkan kebebasan beragama dan beribadah, membela kehormatan diri dan kemerdekaan terhadap serangan tidak beralasan, dan itu pun kalau ada alasan bahwa hal tersebut akan terjadi lagi.
Umat Muslim di masa awal tidak memiliki pilihan lain kecuali berperang karena mereka terpaksa harus melakukannya. Perang yang bersifat agresif sejak dulu mau pun kini tetap dilarang oleh Islam. Kekuatan politis negeri-negeri Muslim tidak boleh digunakan untuk ambisi atau pengagulan pribadi, tetapi hanya untuk perbaikan kondisi rakyat yang miskin serta demi pengembangan perdamaian dan kemajuan. Contoh akbar mengenai hal ini ada pada saat Rasulullah s.a.w. beserta para pengikut beliau kembali ke Mekah dengan kemenangan. Beliau berbicara kepada penduduk Mekah, menyampaikan:
‘Kalian telah melihat betapa sempurnanya janji Allah. Sekarang beritahukan kepadaku hukuman apa yang pantas dikenakan kepada kalian atas segala kekejaman dan kebengisan kalian terhadap mereka yang kesalahannya hanyalah karena mereka telah mengajak kalian untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa? Mendengar itu penduduk Mekah menjawab: “Kami ingin engkau memperlakukan kami seperti Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya yang bersalah.” Mendengar permohonan tersebut, Rasulullah s.a.w. langsung menjawab “Demi Allah, kalian tidak akan dihukum sekarang ini dan tidak juga dimurkai.” (Hisham)
Al-Quran menyatakan:
‘Dan, perangilah mereka itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya bagi Allah. Tetapi, jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.’ (S.8 Al-Anfal:39)
Ayat di atas menjelaskan kalau perang hanya boleh dilanjutkan sepanjang masih ada laku aniaya dan manusia belum bebas menganut agama yang mereka sukai. Jika musuh-musuh Islam menghentikan perang maka umat Muslim juga harus berhenti pula.
Bangsa yang paling pantas mendapat hukuman sesungguhnya penduduk Mekah itulah. Kalau Islam memang disiarkan melalui tekanan senjata, maka kejadian kemenangan umat Rasulullah s.a.w. atas Mekah merupakan saat paling tepat guna mengayunkan pedang untuk pembalasan dan penaklukan agar orang-orang masuk ke dalam Islam. Tetapi nyatanya tidak demikian, penduduk Mekah tunduk bukan karena pedang tetapi karena kasih sayang. Kasih kepada diri Rasulullah s.a.w. dan kecintaan pada ajaran Al-Quran yang mencerahkan kalbu.
Al-Quran menyatakan:
‘Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan. . .’ (S.2 Al-Baqarah:256)
Ayat di atas mengingatkan umat Muslim secara jelas dan gamblang untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menarik non-Muslim ke dalam agama Islam. Dijelaskan juga alasannya mengapa kekerasan itu tidak perlu digunakan yaitu karena jalan yang benar telah nyata bedanya dari jalan kesesatan sehingga tidak ada pembenaran untuk menggunakan kekerasan. Rasulullah s.a.w. secara tegas diingatkan Allah s.w.t. agar tidak menggunakan kekerasan dalam upaya memperbaiki masyarakat. Status beliau ditegaskan dalam ayat Al-Quran:
‘Maka nasihatilah, sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi nasihat. Engkau bukan penjaga atas mereka.’ (S.88 Al-Ghasyiyah:21-22)
Ajaibnya ayat di atas itu diwahyukan di Mekah di masa awal himbauan Rasulullah s.a.w. dimana beliau telah diisyaratkan akan memperoleh kekuasaan besar tetapi jangan menggunakannya untuk memaksakan kehendak diri beliau atas orang lain. Pada intinya Rasulullah s.a.w. tidak pernah menarik orang ke dalam agama Islam dengan kekuatan pedang tetapi melalui laku takwa, kasih dan pengabdian beliau kepada Allah s.w.t. yang telah menaklukkan hati para musuh sedemikian rupa sehingga mereka yang tadinya berniat membunuhnya malah kemudian tunduk di kaki beliau dan mempertahankan beliau dari serangan para musuh.
Pada saat haji perpisahan, Rasulullah s.a.w. dalam penutupan Khutbah Perpisahan beliau menyatakan:
‘Seperti halnya bulan ini suci, tanah ini tanah suci dan hari ini hari suci, demikian pula halnya Tuhan telah menjadikan jiwa, harta benda dan kehormatan tiap-tiap orang juga suci. Merampas jiwa seseorang atau harta bendanya atau menyerang kehormatannya adalah tidak adil dan salah, sama halnya seperti menodai kesucian hari ini, bulan ini dan daerah ini. Apa yang kuperintahkan pada hari ini dan di daerah ini berarti bukan hanya untuk hari ini. Perintah-perintah ini adalah untuk sepanjang masa. Kalian diharapkan mengingat dan bertindak sesuai dengannya sampai kalian meninggalkan alam dunia ini dan berangkat ke alam nanti untuk menghadap Khalik-mu.’
Sebagai penutup beliau bersabda:
‘Apa-apa yang telah kukatakan kepada kalian, sampaikanlah ke pelosok-pelosok dunia. Mudah-mudahan mereka yang tidak mendengarku sekarang akan mendapatkan faedah lebih daripada mereka yang telah mendengarnya.’ (Sihah Sitta, Tabari, Hisyam dan Khamis)
Kepedulian Rasulullah s.a.w. yang sangat atas kesejahteraan umat manusia dan penciptaan kedamaian di seluruh dunia sungguh tidak ada batasnya. Adalah suatu tragedi bahwa dalam masa sekitar seribu tahun terakhir ini para pemuka dan negeri Muslim, sebagian besar telah mengabaikan hakikat ajaran Al-Quran dan Rasulullah s.a.w. semata-mata hanya untuk pemuasan keserakahan dan nafsu kekuasaan atau mencari kekayaan. Mereka berperang satu sama lain untuk memperebutkan kekayaan duniawi dan melalui laku lajak mereka telah menganiaya orang-orang yang tidak berdosa. Secara culas mereka telah mengkhianati bangsanya sendiri dan sesama negeri Muslim hanya untuk mendapatkan kekayaan moneter dan kekuasaan dari musuh-musuh Islam. Sebagian besar dari pemuka ruhani dan duniawi telah menyesatkan bangsanya sendiri dan membawa kebusukan dalam tubuh, fikiran dan jiwa masyarakat. Pada masa kini, beberapa anak muda Muslim secara konyol telah ‘dicuci otaknya’ sehingga menganggap laku barbar, teror, bunuh diri dan pembunuhan yang mereka lakukan akan menjadikan mereka mendapat derajat syuhada. Sesungguhnya mereka ini telah membawa kebusukan ke ambang pintu agama yang katanya mereka cintai. Nama Islam sekarang tidak lagi bernuansa kedamaian melainkan disinonimkan dengan laku teror.
Sebagian besar negara-negara di dunia pernah melancarkan perang politis tetapi kelihatannya hanya negeri-negeri Muslim yang melaksanakan perang Jihad dimana mereka telah membantai satu sama lainnya. Berkaitan dengan itu perlu kiranya disinggung juga kejadian di New York (peristiwa 11 September) dan apa yang terjadi di Afghanistan dan Timur Tengah dimana ‘Jihad Islam’ telah dilancarkan membabi-buta oleh organisasi-organisasi Muslim ekstrim terhadap bangsa-bangsa non-Muslim.
Rasulullah s.a.w. ada mengingatkan bahwa umat Muslim di akhir zaman, terutama para pemuka mereka, akan jauh sekali dari hakikat Islam dan bahkan sebagian dari mereka akan menjadi seburuk-buruknya mahluk. Para pemuka ini akan menyesatkan para muda-mudi Muslim yang sebenarnya memiliki intelegensi cukup. Para pemuka ini mendidik dan mengindoktrinasi mereka bahwa jika mereka menyerahkan nyawa dalam apa yang mereka katakan sebagai jalan Islam, maka mereka ini akan langsung masuk surga sebagai suhada. Betapa bohongnya mereka itu dan betapa menipunya. Mestinya umat Islam bertanya kepada para pemuka itu “Atas kewenangan siapa kalian ini membuat pernyataan seperti itu?” Wahai muda-mudi Muslim yang diperintahkan melakukan tindakan mengerikan demikian, kalau seperti kata mereka itu bahwa kalian akan jadi suhada dan masuk surga, katakanlah kepada mereka silakan tunjukkan teladannya dengan melakukannya sendiri. Tanyakan kepada mereka itu ‘Mengapakah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?’ (S.61 Ash-Shaf: 2)
Laku demikian sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu amal saleh, bahkan lebih merupakan pencemaran nama Islam serta pendurhakaan terhadap firman Tuhan. Al-Quran jelas menyatakan:
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta bendamu antara sesamamu dengan jalan batil, kecuali yang kamu dapatkan dengan perniagaan berdasar kerelaan di antara sesamamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.’ (S.4 An-Nisa: 29)
Kata-kata ‘janganlah kamu membunuh dirimu’ melarang keras tindakan bunuh diri. Disamping itu apakah mungkin laku pembunuhan orang-orang tidak berdosa dianggap sebagai amal saleh yang akan memberikan izin seorang Muslim masuk pintu surga? Yang pasti adalah membuka jalan ke pintu neraka! Abu Zaid bin Thabit bin Dhahak meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
‘Barangsiapa yang bersumpah palsu dan tidak mengatakan keadaan yang sebenarnya, sesungguhnya ia bukan dari pengikut Islam sebagaimana ia menganggap dirinya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebuah alat maka ia akan disiksa dengan alat itu pada Hari Penghisaban. Seseorang tidak boleh bersumpah tentang sesuatu yang bukan haknya. Mengutuk seorang mukminin sama saja dengan membunuhnya.’ (Bukhari, Kitab Adab, bab Memanggil dengan nama buruk dan mengutuk)
Dengan demikian para pria dan wanita yang menyebut dirinya Muslim yang berencana membunuh dirinya atau mengajak orang lain untuk bunuh diri dengan menggunakan bom sehingga menyebabkan matinya orang-orang yang tidak berdosa, perhatikanlah ayat Al-Quran dan Hadith dari Penghulu kalian. Bukan derajat suhada yang akan kalian peroleh tetapi neraka jahanam.
Terorisme di abad modern ini sama sekali bertentangan dengan visi dan penafsiran tentang hakikat Jihad Islamiah. Perang politis tidak bisa disebut sebagai Jihad. Teriakan Jihad terdengar berulang-ulang dan dari berbagai penjuru. Namun apa sebenarnya makna Jihad yang dimaksud Allah s.w.t. dan Rasul-Nya? Apa yang menjadi Jihad di masa kini yang patut kita ikuti? Al-Quran mengemukakan Jihad lain yang disebut sebagai Jihad Akbar sebagai:
‘Janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran ini dengan jihad yang besar.’ (S.25 Al-Furqan:52)
Jihad akbar dan hakiki menurut ayat ini adalah melaksanakan dan mengajarkan isi Al-Quran.Sekarang ini bukan lagi masanya menghunus pedang tetapi saatnya menggunakan hujjah. Apa yang dimaksud dengan hal ini dan bagaimana caranya kita harus masuk dalam medan laga agar manusia menyadari keindahan Islam dan ajarannya? Salah satu jawabannya adalah dengan memahami makna dari Jihad Fiallah atau Jihad Akbar yaitu Jihad terhadap nafsu dan kecenderungan buruk dalam diri kita, khususnya perjuangan kita melawan Syaitan. Inilah yang dimaksud dengan Jihad hakiki, Jihad individual guna memperbaiki diri menjadi saleh dan hamba Allah serta merobah Syaitan-syaitan dalam diri kita menjadi Muslim yang muttaqi agar kita bisa menarik orang lain ke dalam agama Islam. Al-Quran menyatakan:
‘Barangsiapa berjuang maka ia berjuang untuk dirinya pribadi, sesungguhnya Allah Maha Kaya, bebas dari sekalian mahluk-Nya.’ (S.29 Al-Ankabut:6)
Ayat ini menggambarkan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan seorang Mujahid, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah. Wawasan agung dan luhur yang dilaksanakan secara konsisten dan konstan dalam praktek aktual itulah yang dimaksud sebagai Jihad dalam terminologi Islam, sedangkan orang yang melaksanakan dan mengamalkannya disebut sebagai Muhajid. Kita ini harus menjadi teladan yang sempurna dari ajaran Islam dan untuk itu kita harus memahami ajaran Al-Quran serta sunah Rasul. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa sebaik-baik pernyataan dari keimanan yang hakiki adalah orang lain selalu terpelihara dan hidup damai karena perlindungan kita. Islam disebut agama yang terbaik ialah jika semua orang aman dari kita dan kita tidak pernah mencederai mereka baik dengan tangan atau pun lidah (Bukhari, Kitabul Iman).
Hadith itu merupakan kesimpulan dan teladan sempurna untuk kehidupan kita di dalam masyarakat. Wajib bagi setiap Muslim bahwa perilakunya harus menjadi teladan dan tidak ada siapa pun yang akan dirugikan dengan cara apa pun. Hal ini menjadi bagian dari keimanan dan senyatanya menjadi dasar dalam hubungan kita dengan Allah s.w.t.. Sebagai seorang mukminin sejati, kita tahu bahwa tujuan utama dalam kehidupan ini adalah mendekati Allah s.w.t.. Hidup ini singkat sekali dan sebelum kita sadari, separuh usia sudah lewat dengan cepatnya. Kita mengetahui dari Al-Quran bahwa hubungan seperti itu bisa diciptakan, namun juga dinyatakan bahwa kita harus berjuang mencarinya. Jika kita perhatikan kehidupan duniawi, kita bisa melihat upaya perjuangan seperti apa yang harus dilakukan guna mencapai keberhasilan. Cara yang sama dengan berjuang di jalan Allah akan menuntun kita pada pertemuan dengan Wujud-Nya.
Semestinya kita menilik ke dalam batin sendiri dan melihat berapa banyaknya waktu dan upaya yang dikeluarkan bagi keruhanian setiap harinya. Apakah ada kita berupaya setengah atau bahkan seperempat dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk dunia? Apakah hati kita sesungguhnya mendambakan kasih Allah sebagaimana halnya mendambakan kemewahan dunia? Apakah ada kita menghabiskan waktu yang banyak untuk berdoa, membaca Al-Quran, membelanjakan harta dan waktu di jalan Allah? Apakah hati kita ada menangis melihat penderitaan saudara-saudara kita dan apakah ada kita berupaya datang kepada mereka dengan tulus hati menyampaikan pesan Ilahi? Adakah kita mematuhi sepenuhnya ketentuan dan peraturan dalam Kitabullah, karena sesungguhnya tidak ada petunjuk yang lebih baik daripadanya. Semua ketentuan dan peraturan tersebut adalah bagi kemaslahatan kita sendiri. Siapa yang mengetahui jalan Allah yang terbaik kecuali Allah sendiri? Kita semestinya mematuhi kaidah Ilahi guna memastikan bahwa kita terpelihara dari pengaruh jahat internal mau pun eksternal diri kita serta mencerahkan perjalanan ruhani. Semua itu memerlukan perubahan dalam kebiasaan dan gaya hidup yang selama ini dianut. Fikiran dan pandangan perlu diubah dan dimodifikasi. Upaya demikian adalah berat dan melelahkan tetapi semua perjuangan memang berat dan menyakitkan adanya.
Orang-orang yang hidup berdasarkan pedoman Tuhan dan selalu berjuang di jalan-Nya maka mereka menjadi teladan hidup dari hamba-hamba Allah. Mereka kelihatan menonjol dibanding lingkungannya. Ada perubahan sempurna dalam internal dan eksternal pribadi mereka sehingga orang-orang lain akan terpana dan menghormati mereka karena adanya nur Ilahi yang bersinar dari wajah mereka. Mereka itu senyatanya menjadi bukti hidup dari ayat Al-Quran bahwa:
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:70)
Kata Jihad itu mencakup keseluruhan aktivitas positif yang harus dilakukan seorang Muslim dan kita semua harus berlaku sebagai Mujahid yang secara istiqomah memperbaiki diri. Berjuang demi Allah membutuhkan tekad bulat dan keteguhan hati, dimana hal ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa keimanan, pemahaman dan keyakinan yang hakiki kepada Wujud Maha Agung yang Maha Kuasa serta kepastian adanya kehidupan setelah kematian. Jika seorang Muslim meyakini bahwa keimanannya itu benar adanya, agama yang dianutnya itu juga benar maka ia tidak perlu takut kepada orang-orang yang berusaha menariknya keluar dari keimanan demikian. Sebaliknya, ia harus menerima mereka di rumahnya dengan senang hati dan melalui amal dan kata yang saleh, insya Allah, bisa menarik mereka ke dalam agamanya.
Sebelum masuk menjadi Muslim Ahmadiyah sekitar 14 tahun yang lalu, saya selalu berusaha selama hampir dua tahun untuk menarik seorang teman Ahmadi ke dalam agama Kristen. Teman ini sama sekali tidak mengambil sikap permusuhan, malah ia banyak mengajarkan kepada saya kebenaran agamanya dalam kata dan amal perbuatan, sehingga akhirnya tidak saja saya malah jatuh cinta kepada agama Islam, bahkan aku mencintai teman ini sebagaimana seseorang mencintai saudara kandungnya sendiri. Ia selalu menempatkan agama dan kewajiban agama di muka segalanya, bahkan kepentingan keluarganya sendiri. Melalui kata-kata dan amalnya yang saleh serta mengikuti teladan Rasulullah s.a.w. ia ini tidak saja berhasil menyeru saya tetapi juga banyak orang Inggris lainnya ke dalam Islam yang hakiki. Ia melaksanakan Jihad hakiki, tidak dengan kekerasan tetapi dengan ajakan yang lembut. Ia banyak mengalami rintangan namun kesabaran dan sifat istiqomahnya, terlebih lagi kecintaannya kepada sang Khalik, telah menjadikan dirinya sebagai penyeru kepada Allah yang paling berhasil. Pedih hati ini menyaksikan laku ketidakadilan yang ditimpakan bangsa-bangsa Barat terhadap umat dan negeri-negeri Muslim. Tetapi lebih menyedihkan lagi menyaksikan tindakan orang-orang yang menyebut dirinya Muslim yang mencanangkan Jihad terhadap siapa pun yang tidak sependapat dengan penafsiran mereka tentang ajaran Islam dimana mereka melakukan tindak kekejaman yang memalukan atas nama Islam. Bagaimana bisa mereka menarik minat orang lain kepada agama Islam?
Betapa menyedihkan dan memalukan bahwa seorang yang asing sama sekali dan tidak pernah merugikan kita dan sedang menjalankan perintah kedinasannya, lalu ditembak mati tanpa alasan sehingga isterinya menjadi janda, anak-anaknya menjadi yatim serta tempat tinggalnya menjadi rumah berkabung. Hadith mana dan ayat Al-Quran mana yang memerintahkan tindak laku yang keji seperti itu? Apakah ada seorang saja ulama yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini? Umat awam yang tidak berpengetahuan, begitu mendengar kata Jihad lalu menjadikannya sebagai pembenaran untuk memenuhi nafsu pribadi mereka sendiri.
* Bilal Atkinson adalah seorang Inggris pensiunan polisi dan sekarang menjadi Amir Muballigh Wilayah Ahmadiyah dari bagian Timur Laut Inggris.
Sumber: www.reviewofreligions.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar